KOPERASI DI INDONESIA
“HIDUP SEGAN, MATI TAK MAU”
Setelah pembahasan “Kondisi Koperasi di Indonesia Saat Ini” yang cukup rumit
mengenai sisi baik atau pun buruk koperasi di Indonesia yang masih mengalami
kemajuan namun belom bisa memajukan perekonomian masyarakat Indonesia saat ini
, mari kita kembali membahas mengenai “Koperasi di Indonesia Yang Hidup
Segan Mati Tak Mau”.
Nasib koperasi di Indonesia saat ini cukup menghawatirkan yang mengikuti sebuah
pepatah yaitu”Hidup Segan Mati Pun Tak Mau”, mengapa demikian?Itu lah yang
tergambar di pikiran kita tentang kondisi koperasi di Indonesia.Meskipun
pemerintah telah bergerak cepat untuk tanggap menghadapi permasalah ini.Akan
tetapi pemerintah menekankan diri pada ekonomi nonliberal yaitu ekonomi yang
tak pro terhadap rakyat.
Cita-cita pemerintah dengan mendirikan koperasi
untuk menjadi sokoguru bagi perekonomian pemerintah, nampaknya masih tak
tercapai.Dengan tujuan yang sangat mulia yaitu memakmurkan perekonomian bagi
rakyatnya.Namun itu semua hanya sebagi sebuah hisapan sempol biasa karena
system ekonomi yang nonliberal atau tidak pro dengan rakyat.Yang di maksudkan
dari system tersebut ialah menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar dan
yang terjadi kemudian adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
melarat.
Koperasi memiliki prinsip-prinsip yang harus di ikuti oleh seluruh koperasi di
Indonesia yaitu sebagai berikut:
1.
Keanggotaan
bersifat sukarela dan terbuka
2.
Pengelolaan
dilakukan secara demokratis
3.
Pembagian
sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa-jasa
usaha yang dilakukan setiap anggotanya
4.
Pemberian
balas jasa yang terbatas terhadap modal
5.
Kemandirian
6.
Pendidikan
perkoperasian
7.
Kerjasama
antar koperasi
Dengan rincian prinsip koperasi dia atas telihat
jelas karakteristik yang berbeda dengan badan usaha lainya, dimana segala aspek
permodalan dan usaha yang dilakukan secara mandiri.
Salah satu contoh koperasi yang sangat sentral
saat ini ialah Koperasi Unit Daerah(KUD) yang semakin hari wujudnya makin tak
terlihat. Usaha Koperasi Unit Desa dibentuk
berdasarkan kebutuhan pelayanan kepada anggota seperti usaha simpan pinjam,
sarana-sarana pertanian, memasarkan produksi anggota dan lain-lainnya.Namun
kendala yang dihadapi oleh KUD berasal dari permodalan.Dengan permodalan yang
minim ini lah yang membuat KUD itu sendiri berhenti di tengan jalan tanpa ada
nya pencapaian yang jelas dalam usahanya.
Kondisi memperhatikan ini yang membuat perekonominan rakyat tidak bisa
maju.Permasalahan lain yang dihadapi oleh KUD adalah Sumber Daya Manusia(SDM)
yang tak mengetahui mengenai koperasi dalam system keanggotaannya. Dalam hal
ini sebenarnya pemerintah harus berandil besar untuk mensosialisasikan mengenai
koperasi, namun apa daya pemerintah seolah tidak campur tangan dalam hal ini.
Kalau dilihat dari pertumbuhan koperasi, dari
tahun ke tahun memang terjadi peningkatan, namun seiring dengan itu terdengar
pula nasib buruk menimpa koperasi.Pada tahun 2010 misalnya, jumlah koperasi di
Indonesia mencapai 170.411 unit dengan jumlah anggota 29,240 juta. Terjadi
peningkatan 9,97% dibanding 2008. Dari segi volume usaha, pada 2010 mencapai Rp
82,1 triliun atau naik 19,95% dibanding volume usaha pada 2008.
Tapi, angka capaian yang diperoleh koperasi itu
belum bisa dikatakan sebuah keberhasilan yang pantas dibanggakan. Soalnya,
anggota Majelis Pakar DEKOPIN (2010-2015), DR. Ir. Hj. Endang Setyawati
Thohari, M.Sc., melihat lebih dari 10% koperasi yang ada di Indonesia itu sudah
tidak aktif lagi. Dan, sebagian besar koperasi yang tidak beroperasi lagi
tersebut berada di daerah pedesaan, yang lebih dikenal sebagai Koperasi Unit
Desa (KUD).
Padahal, menurut Ketua Bidang Koperasi HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) ini, KUD dalam perjalanannya merupakan
salah satu basis sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi
penduduk Indonesia.Artinya, kemandegan KUD menjadi cermin seretnya kemajuan
perekonomian di pedesaan.Dan, ini membuat ancaman pengangguran di pedesaan
semakin bertambah.
Dari sini telihat jelas bahwa kemauan pemerintah membangun perekonomian
berbasis kerakyata koperasi belum sepenuh hati.Karena banyak program yang sesungguhnya
bermanfaat bagi masyarakat namun tak tersosialisasikan dengan baik.Salah satu
contohnya adalah soal standarlisasi aturan pendirian koperasi yang tidak
jelas.Akibatnya, masing-masing notaris memiliki aturan yang berbeda-beda dalam
menentukan persyaratan pendirian koperasi.Situasi ini diperparah lagi oleh
kemauan pemerintah yang terlanjur memilih sistem ekonomi liberal sebagai jiwa
pembangunan ekonomi Indonesia.Padahal ekonomi pedesaan pada umumnya dan
koperasi khususnya, tidak mungkin dibiarkan sendiri “berperang” menghadapi para
pengusaha yang memiliki modal.
Kemampuan sisi permodalan terutama KUD untuk mendapatkan akses biaya terkendala
aturan main bank. Padahal dana masyarakat yang telah terkumpul di bank mencapai
Rp 2.100 trilliun. Sesuai dengan ketentuan perbankan 80% dari dana masyarakat
itu seharusnya dikembalikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman
atau Loan Deposit Ratio(LDR).
Tapi, kenyataannya, hingga 2010 pengembalian
dana atau LDR perbankan ke masyarakat untuk sektor pertanian baru mencapai 5%.
Penyebabnya, tak lain, karena masyarakat kecil umumnya dan koperasi pada
khususnya tidak sanggup memenuhi syarat untuk mendapatkan kucuran kredit yang
dikenal dengan prudential bank berupa 5 C (capital, condition, character,
capacity dan collateral).
Syarat
lainnya, yang juga sulit, adalah soal karakter hasil pertanian yang dikelola
KUD memiliki risiko yang sangat besar.Perbankan menganggap syarat ini penting
lantaran sifat barang-barang produk pertanian mudah rusak, dan tidak tahan
lama.
Akibat dari itu semua, yang terjadi kemudian
terjadi saling tidak percaya antara petani dan koperasi di satu pihak dengan
bank di lain pihak.Sehingga yang terjadi sekarang banyak petani dan koperasi
yang memercayakan penyimpanan uangnya di bank, tetapi bank tidak mempercayai
petani atau koperasi sebagai salah satu penerima kredit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar